Kamis, 06 Februari 2014

The Colors of Jakarta Old City


Sunda Kelapa port is today serve ships from other islands across Indonesia. Everyday we can see loading and discharging activities at the port.

After more than 10 years living in Jakarta, finally I made a mini trip to the Old City of Jakarta. So what is interesting about the Old City? My house is only a stone-throwed away from the location (20 minutes by car, not very close though :D), but the old city area didn’t succeed to impress me for such a long time.

But that would be changed soon. Because my last visit to the old city was really great. I found many things interesting.

An abandoned old building


The history begun in twelfth century when Padjadjaran Kingdom built Kalapa (Sunda Kelapa) port which had a significance role on  shipping and trade.  The ships came from Java, Sumatera, Sulawesi also Asia and Europe. Portugese was the first European who came to the Kalapa port and took all controls at the port.
Fatahillah was the commander of Demak Kingdom who had the duty to take back Kalapa port. He suceeded and changed the name Sunda Kelapa to Jayakarta to celebrate the victory on June 22, 1527.
But in 1619 when the second Dutch East India government (VOC), JP Coen ruled, Jayakarta was changed to Batavia. Coen also changed the port to be more European style.


Toko Merah was Baron Van Imhoff house, he was one 
of VOC Governor General

Under VOC, Sunda Kelapa developed rapidly as an international transit port and Batavia became an important city port in Asia. The city supplied various trade commodities – tea, silk, coffee, tobbaco, spice, palm wine and ceramics, to Europe, Asian countries and other regions. Obsiously, the port became the driving force that supported the development of Batavia during VOC ruled. As the business increased, there were more people became rich in Batavia. More buidings and canals was built to make the city more beautiful and attracted many Europeans (French, British, Scandinavian) visited Batavia between 1732-1733.
Batavia was survive until 1942-1943 when the Japanese took over and restored to older name, Jayakarta.



This building might be owned by Tulus Redjo


There are several buildings left that can describe how beautiful and busy the city in its heydays. Some European style buildings are still used as offices or just left as an empty building and damaged by the time.


The old city area is easily access from anywhere around Jakarta, there is a TransJakarta shelter and Stasiun Kota nearby. From here we could take bajaj, rent a bike or even walk to go around. 
From Transjakarta Stasiun Kota shelter, I took a walk to the Kali Besar area. I passed by the Kali Besar bridge. It’s very smelly and the water colored dark green all the time. 

Kali Besar
Kali Besar (de groote rivier or big river) was the center for shipping, trade and industrial activities of the city. Local and foreign ships berthed on both sides of Kali Besar banks, where large buildings for warehouses and offices were built to support cargo handling.










I walk a little further to Kali Besar Barat street, where I found a big hotel, d’Riviera hotel. Not far from the hotel there’s a bridge named ‘Jembatan Kota Intan’ (Diamond City Bridge).  This used to be a mechanic bridge, when a boat passed by, the bridge opened. The bridge is now preserved to maintain it’s original construction.





As the trade from Asia to Europe increased, VOC built more warehouses to store more spices and plantation products in 1652-1759. During Japan occupation, these buildings were used as logistic for Japanese military.
In 1976 the building was handed over to DKI Jakarta administration and declared as historical monument.
In 1977, the building opened as Maritime Museum.


The buildings had many big windows for good air circulation,
so the spices could be stored in a long time



The museum has many collections of ships to describe Indonesian maritime history. Not only miniatures, there also traditional ships from across Indonesia.
Observing the maritime museum was such an interesting time. There’re many  ship miniatures made of woods which describe how great Indonesian ancestor as sailors.

Maritime Museum

Syahbandar Tower
Ships miniatures in Maritime Museum















VOC Galangan (dockyards) was constructed in 1628. Beside constructed small ships, the dockyard also served big ships for maintenance or repairing. 
The building is still well maintained and now used as a restaurant.

VOC dockyard


Syahbandar tower is just across the street from the dockyard. It's constructed in 1839 by Netherland Indies government, which was used as an observing tower. The 12 m tall building used to be the highest buiding in Batavia. From the 3rd floor, we can observe activities at Sunda Kelapa port. 








'Onthel' bikes for rent at Fatahillah Museum


Museum Fatahillah was occupied as City Hall, built in 1620 by General Governor JP Coen. The city hall was also used as Raad Van Justitie or justice council which handled civil and criminal cases in Batavia. The building was also used as jail. The prisoner accused guilty would be hung at the Staadhuis which was the plaza in front of city hall.
Now the city hall has become a recreational plaza which always crowded on the weekend. There are many activities to do, we can rent a bike to go around Jakarta old city, just sitting on Batavia Cafe or take photograph with human statue.
We can also enjoy Betawi traditional foods such as kerak telor (chicken or duck egg fried with sticky rice and grated coconut until it gets crust), soto mie (noodle, cabbage and other ingredients with curry seasoning), es selendang mayang (colorful rice porridge with ice) and many other foods street.

Various kinds of food street
Not far from Fatahillan Museum. we can find Bank Indonesia and Mandiri Museum. Bank Indonesia museum was De Javasche Building, built in 1828. This is an audio visual museum, with electronic displays and diorama which describe history of Indonesian monetary, especially Bank Indonesia roles in Indonesian economy.


Mandiri Museum constructed in 1929 was used as Nederlandsche Handel Maatschappij NV (NHM) office. The museum displays a collection of banking-related items, such as securities documents, numismatics (coin collections), general ledgers, cash counters and a safe deposits, office equipments.


Old office equipments

Ornament in Museum Mandiri was brought from Netherland

Jakarta Kota Station serves as a main station for several intercity train (Argo Train) lines across Java IslandThis station also serves three of the six commuter lines , which operate in the Jakarta metropolitan area and its surroundings.




Senin, 16 Desember 2013

Danau Toba / Lake Toba


Private boat can be rent to Samosir Island
Batu Gantung /Hanging Stone

Batak Museum



Aneka souvenir untuk oleh-oleh /  Various souvenirs 

Danau Toba dari pinggir jalan / Lake Toba from the street 

Boneka sigale gale / Sigale gale Puppet

Deretan toko souvenir di Toba Samosir / Souvenirs outlets at Toba Samosir Island




Tanjung Balai Karimun


Mungkin Tanjung Balai Karimun (TBK) bukan merupakan destinasi wisata bagi orang Indonesia. TBK merupakan kota perdagangan yang cukup ramai, bahkan termasuk dalam zona perdagangan bebas Batam-Bintan-Karimun. TBK terletak di Kepulauan Riau, yang hanya berjarak sekitar 30 menit ke Singapura. Untuk mencapai TBK dari Jakarta bisa menggunakan pesawat ke Batam, dari Batam dilanjutkan dengan menggunakan ferry penumpang sekitar 1,5 jam.

Pantai Pelalawan, TBK punya pantai yang banyak bebatuannya

Menurut saya, batu-batuan itu akan lebih cantik apabila dibiarkan alami tanpa coretan

Pantai Pongkar

Pelabuhan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Suasana kota TBK
Bangunan ruko

Minggu, 15 Desember 2013

Danau Ranau

Danau Ranau terletak di perbatasan Kab. Lampung Barat, Lampung dengan  Kab. Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan. danau ini merupakan danau vulkanik yang berasal dari letusan gunung berapi.
Perlu perjuangan untuk mencapai Danau Ranau, selain tidak ada kendaraan umum, lokasinya cukup jauh dari kota Palembang. Rute dari Palembang-Baturaja-Danau Ranau memerlukan waktu sekitar 7-8 jam. Kondisi jalan Palembang-Baturaja masih belum mulus, apalagi kalau musim hujan. Sedangkan kondisi jalan Baturaja-Danau Ranau lebih bagus, walaupun ada sebagian ruas yang sempit dan berkelok-kelok.
Kalau berniat untuk menginap di Danau Ranau terdapat Wisma Pusri yang bisa di sewa untuk umum.
Tidak jauh dari danau, terdapat air terjun yang dikenal sebagai Air Terjun Subik Tuha. 
Danau Ranau dengan latar belakang G. Seminung

Hamparan sawah menghijau di sekitar danau


Mengenang Pulau Galang

Batam lebih dikenal wisata shopping-nya dibanding wisata alam. Namun ketika sudah capek belanja, cobalah untuk menikmati keindahan alam pulau Batam di sekitar Jembatan Barelang. Jembatan Barelang (singkatan dari BAtam, REmpang, dan gaLANG) adalah nama jembatan yang menghubungkan 6 pulau yaitu Pulau BatamPulau TontonPulau NipahPulau RempangPulau Galang dan Pulau Galang Baru. Jembatan Barelang juga dikenal sebagai 'Jembatan Habibie' karena pak Habibie yang memprakarsai pembangunan jembatan ini. Dari pusat kota ke Jembatan Barelang I sekitar 20 km. 
Pemandangan di sekitar jembatan sangat indah karena kita bisa melihat pulau-pulau kecil di sekitar Batam dengan laut yang berwarna hijau-biru tosca. 
Setelah puas berfoto-foto di jembatan Barelang, perjalanan bisa dilanjutkan ke Pantai Melur. Pantai yang terletak di sisi Barat Pulau Galang ini memiliki pasir pantai yang putih bersih dan lembut, ombak juga tidak terlalu besar sehingga cukup aman untuk berenang.
Barelang Bridge


Pemandangan dari Jembatan Barelang
 
Pantai Melur
Dilanjutkan dengan wisata sejarah, yaitu dengan mengunjungi bekas camp pengungsian Vietnam. Ketika memasuki area camp, suasana sangat sepi. Namun masih banyak berdiri bangunan-bangunan tua yang sebagian besar sudah rusak. Menambah suasana semakin mistis..:o
Begini awal ceritanya...
Pada tahun 1975, terjadi perang saudara di Vietnam. Perang tersebut berlangsung sangat lama dan menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat. Karena tidak tahan dengan kondisi negaranya, banyak warga Vietnam yang melarikan diri keluar dari Vietnam. Mereka menggunakan kapal-kapal kayu sederhana untuk mengarungi Laut Cina. Kondisi pengungsi ini cukup memprihatinkan, dalam 1 kapal diisi sekitar 75 orang pengungsi. 
Setelah mengarungi samudera, tibalah mereka di Pulau Natuna, Kep. Riau. Dengan semakin banyaknya pengungsi (mencapai 250.000 orang), menimbulkan permasalahan bagi negara-negara lainnya (al. Indonesia, Thailand, Malaysia).
Akhirnya PBB melaui UNHCR turun tangan dan menetapkan Pulau Galang sebagai camp bagi pengungsi Vietnam pada tahun 1979. Pulau Galang seluas 250 ha, diambil sebagian (80 ha) sebagai tempat mengungsi. Selain barak-barak, di lokasi pengungsian juga dibangun fasilitas umum yang cukup lengkap, al. rumah sakit, tempat ibadah, bahkan penjara. 
Setelah perang usai, pada tahun 1996 para pengungsi tersebut sebagian dipulangkan ke Vietnam, dan ada pula yang diberikan suaka ke negara lainnya.
Saat ini bekas camp pengungsian sudah kosong, tinggal beberapa bangunan tempat ibadah yang masih berdiri dan masih dipergunakan untuk ibadah, yaitu Pagoda Bukit Teratai. Kabarnya keluarga pengungsi juga masih datang ke lokasi makam untuk berziarah ke kuburan naggota keluarga.
Untuk menuju ke Jembatan Barelang maupun Pulau Galang tidak terdapat angkutan umum, sehingga untuk mencapainya harus menggunakan kendaraan pribadi/sewa.
Pagoda Bukit Teratai

Sisa-sisa bangunan

Kapal yang dipergunakan oleh pengungsi Vietnam mengarungi samudera


Selasa, 10 Desember 2013

Beautiful Belitong

Pantai Gosong
Batuan yang terbentuk sejak ribuan tahun yang lalu
 
Pulau Lengkuas dari menara

Menara Pulau Lengkuas yang dibangun th 1882

Pulau Burung

Sunset di Pantai Tanjung Tinggi

Danau Kaolin yang terbentuk dari sisa penambangan kaolin/tanah liat

Lucunya Lumba Lumba di Teluk Kiluan

Perjalanan yang cukup panjang menuju Teluk Kiluan yang berada di Kab. Tanggamus, Lampung Selatan. Perjalanan terasa lama bukan hanya karena jaraknya memang jauh +/- 80 km dari Tanjung Karang, namun karena kondisi jalan yang sebagian besar masih berupa jalan tanah dan berbatu. Setelah terguncang-guncang sekitar 4 jam di mobil, akhirnya sampai juga di desa Kiluan Negeri, Kec. Kelumbayan. Dari desa ini perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan jungkung/kapal kayu bermesin menuju Pulau Kiluan. Matahari mulai tenggelam dan memancarkan pemandangan yang sangat indah seolah menyambut kedatangan kami di Teluk Kiluan.
Di Pulau Kiluan terdapat penginapan sederhana berupa rumah penduduk yang disewakan. Harga sewa per kamar Rp350 ribu tidak dibatasi jumlah orang. Listrik berasal dari genset dan dimatikan jam 9 malam.
Malam berlalu.. pagi-pagi waktunya bersiap menuju tengah laut untuk 'berburu' lumba-lumba. Setidaknya ada 2 jenis lumba lumba yang biasa ditemui di Teluk Kiluan, yaitu jenis hidung botol dan paruh panjang. Perjalanan menuju tengah laut sekitar 30 menit, namun setelah beberapa kali berkeliling, belum juga kelihatan ada lumba lumba. Sambil menunggu lumba lumba muncul, operator jungkung menebarkan pancing ikan dan mendapatkan cukup banyak ikan kecil untuk lauk makan siang kami.
Setelah beberapa waktu berkeliling, akhirnya lumba lumba lucu itu menampakkan diri dalam jumlah yang cukup banyak...Horeeee...akhirnya datang juga..:D. Lumba lumba jenis hidung botol ini berenang di sekitar jungkung dan melompat-lompat seolah menghibur kami yang sudah kepanasan menunggu mereka.

Laut biru, pasir putih..siapa yang tidak tergoda untuk nyebur.....

Lumba lumba hidung botol berenang sangat lincah

Heyyy...mau kemana..?
Perahu jungkung yang siap mengantar ke tengah laut bertemu si lumba lumba. 1 perahu maks. 4 orang termasuk operator

Penginapan sederhana di Pulau Kiluan

Pura di desa Kiluan Negeri. Dahulu banyak transmigran asal Bali yang hingga saat ini masih mempertahankan kebudayaannya