Rabu, 12 Februari 2014

Balikpapan yang Menawan

Kota Balikpapan sebagai ibukota propinsi Kalimantan Timur sudah sangat terkenal sebagai penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia serta kebersihan kotanya. Selain itu, Balikpapan juga dikenal sebagai salah satu kota transit untuk menuju Kepulauan Derawan yang terkenal dengan Danau Kakaban dan pantai-pantai indahnya. 
Seperti juga tetangga lainnya di P. Kalimantan, Balikpapan memiliki kawasan hutan lindung sebagai tempat wisata. Tapi selain hutan, ada pantai juga dengan sunset-nya yang indah. 



Sabtu pagi yang agak mendung, pesawat Citilink yang saya tumpangi mendarat di Bandara Sepinggan. Jarak menuju pusat kota Balikpapan cukup dekat. Kita bisa menggunakan taksi resmi dengan tarif flat Rp55 ribu untuk tujuan di dalam kota. Cukup mahal memang untuk jarak tempuh yang hanya 15 menit. 
Di Kota Balikpapan akan banyak ditemui angkutan kota yang biasa disebut taksi. Untuk berkeliling kota bisa menggunakan taksi ini, walaupun agak sedikit repot karena harus berganti-ganti taksi. Taksi argo merupakan sebutan untuk mobil taksi sewa.
Sebelum berangkat ke Balikpapan, saya sudah mencatat list tempat-tempat yang akan saya kunjungi, namun karena keterbatasan informasi yang saya peroleh dari google, saya belum tau akan berkeliling dengan menggunakan transportasi apa.
Setibanya di hotel, petugas hotel memberikan informasi bahwa cukup repot kalau berkeliling dengan menggunakan taksi atau angkutan kota karena tidak semua wilayah dilalui taksi. Sedangkan untuk taksi argo, pasti tarifnya mahal kalau disewa seharian. Akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk menyewa mobil untuk hari Minggu dan mendapat mobil Avanza dengan harga sewa Rp600rb, untuk 12 jam termasuk driver dan BBM.

PANTAI KEMALA

Untuk menuju ke pantai Kemala dari pusat kota cukup mudah, karena jaraknya dekat dan banyak taksi yang melewatinya. Yang menarik dari pantai ini adalah pasir pantainya yang putih dan lembut bagaikan bedak. Ombaknya juga cukup aman untuk sekedar berenang di tepian pantai. Di sepanjang pantai ini juga terdapat cafe dan restauran yang menyediakan berbagai menu makanan yang bisa dipesan sambil menikmati suasana pantai.




BERUANG MADU

Beruang Madu (Helarctos malayanus) merupakan satwa asli Balikpapan. Itulah kenapa dijadikan maskot kota Balikpapan. Populasinya saat ini hanya tinggal sekitar 50 ekor dan populasi terbanyak ada di Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain. 
KWPLH (Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup) merupakan enklosur bagi 6 ekor beruang madu yang disita dari pemilik ilegal. Waktu terbaik untuk mengunjungi KWPLH adalah pada jam makan beruang madu yaitu jam 9 pagi dan 3 sore. Pada jam itu, beruang akan menghampiri makanan yang disediakan oleh petugas konservasi di tempat-tempat yang bisa dilihat oleh pengunjung. Namun pengunjung diharapkan untuk tidak bersuara keras karena beruang memiliki sifat pemalu.  
Beruang madu merupakan hewan omnivora, makanan utamanya adalah serangga, buah-buahan dan tentu saja madu. Ciri khas beruang madu secara fisik adalah adanya bulu warna putih/kuning berbentuk V di lehernya. Hutan hujan tropis merupakan habitat beruang madu. Dengan semakin menurunnya luas hutan hujan tropis, populasi beruang madu juga semakin menurun.Diantara jenis beruang lainnya, beruang madu memiliki berat badan yang paling 'langsing', untuk beruang dewasa sekitar 30-60 kg saja.


BUKIT BENGKIRAI


Bukit Bengkirai, merupakan kawasan hutan wisata yang dikelola oleh PT Inhutani, terletak di Km 38 Balikpapan. Untuk mencapai lokasi ini tidak terdapat angkutan umum. Waktu tempuh dari Balikpapan sekitar 2-3 jam perjalanan. Sepanjang perjalanan menuju Bukit Bengkirai kita akan disuguhi pemandangan hutan Kalimantan yang cukup lebat. Kondisi jalan terdapat beberapa kilometer jalan yang rusak dan berbatu sehingga harus hati-hati ketika sedang hujan. Untuk memasuki lokasi trekking, pengunjung harus membayar biaya masuk Rp25rb/orang.
Atraksi yang terdapat di Bukit Bengkirai adalah Jembatan Tajuk (canopy bridge) yaitu jembatan yang menghubungkan 5 pohon Bengkirai dengan ketinggian sekitar 30 m. 
Kabarnya jembatan ini satu-satunya lhoo di Indonesia. Dasar jembatan terbuat dari kayu, sedangkan konstruksinya dari baja tahan karat, Amerika punya..:D


Tangga menuju canopy bridge



Selain keberanian, jangan lupa juga untuk 
mempersiapkan bekal makanan dan
minuman secukupnya, karena tidak terdapat 
penjual makanan/minuman di sekitar
lokasi. Tapi jangan lupa untuk membuang
sampah di tempat yang sudah disediakan



Begitu memasuki kawasan hutan wisata, pengunjung bisa melalui jembatan tajuk mini sebagai 'pemanasan'. Jalur trekking menuju jembatan tajuk sekitar 450m, terdapat tempat untuk beristirahat di sepanjang jalur trekking. Kita juga tidak akan merasa bosan atau capek karena kita bisa menikmati kesejukan hutan berikut pohon-pohon besar di sekeliling kita. Jalur trekking cukup aman untuk dilalui bahkan oleh anak-anak karena telah disediakan tangga. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya sampai juga di lokasi canopy bridge. 
Kita hanya perlu menyiapkan keberanian dan niat untuk menaiki tangga dan menyeberang melalui canopy bridge..:D


Jangan liat ke bawah!!

Canopy Bridge

Pemandangan dari atas canopy bridge

Trekking kembali ke area parkir bisa melalui jalur yang berbeda, namun sama-sama menyajikan pemandangan yang menakjubkan. Terdapat area taman anggrek, namun pada saat lmelewati ternyata anggreknya belum waktunya berbunga.

Di kawasan ini terdapat camping ground serta bungalow-bungalow yang disewakan.








PENANGKARAN BUAYA TERITIP



Setelah puas menikmati hutan Kalimantan di Bukit Bengkirai, perjalanan dilanjutkan ke penangkaran buaya Teritip. HTM lokasi penangkaran Rp15rb/orang. Selain buaya, di halaman depan juga terdapat 3 ekor gajah.
Penangkaran ini dikelola oleh pihak swasta CV Surya Raya sejak tahun 1993.
Jenis buaya yang ada di penangkaran ini adalah buaya muara, buaya supit dan buaya air tawar. Buaya-buaya itu ditempatkan di beberapa kandang berdasarkan kategorinya yaitu anakan, penggemukan, remaja dan induk.





HUTAN MANGROVE MARGOMULYO

Kawasan hutan mangrove seluas 6,8 ha ini terletak di Kel. Margomulyo, Balikpapan Barat. Lokasinya tidak jauh dari pusat kota, namun tidak ada angkutan umum yang sampai ke lokasi ini. Hutan mangrove ini berada tepat di belakang SMA 8 Balikpapan, sedangkan pintu masuknya berada di samping SMA 8. 

Berbagai jenis bakau bisa kita temui, lokasi ini juga merupakan lokasi favorit bagi fotografer hunting foto.

Jembatan ulin di sepanjang jalur trekking
hutan mangrove





PANTAI MELAWAI

Perjalanan hari ini akan saya akhiri dengan menikmati sunset di Pantai Melawai. Pantai ini sejajar dengan Pantai Kemala dan lokasinya tidak jauh dari lapangan Merdeka. Suasana pantai di Minggu sore sangat ramai. Anak muda, orang tua, keluarga, berkumpul di sepanjang sisi jalan dan di tepi pantai.

Sunset is coming...


Kamis, 06 Februari 2014

The Colors of Jakarta Old City


Sunda Kelapa port is today serve ships from other islands across Indonesia. Everyday we can see loading and discharging activities at the port.

After more than 10 years living in Jakarta, finally I made a mini trip to the Old City of Jakarta. So what is interesting about the Old City? My house is only a stone-throwed away from the location (20 minutes by car, not very close though :D), but the old city area didn’t succeed to impress me for such a long time.

But that would be changed soon. Because my last visit to the old city was really great. I found many things interesting.

An abandoned old building


The history begun in twelfth century when Padjadjaran Kingdom built Kalapa (Sunda Kelapa) port which had a significance role on  shipping and trade.  The ships came from Java, Sumatera, Sulawesi also Asia and Europe. Portugese was the first European who came to the Kalapa port and took all controls at the port.
Fatahillah was the commander of Demak Kingdom who had the duty to take back Kalapa port. He suceeded and changed the name Sunda Kelapa to Jayakarta to celebrate the victory on June 22, 1527.
But in 1619 when the second Dutch East India government (VOC), JP Coen ruled, Jayakarta was changed to Batavia. Coen also changed the port to be more European style.


Toko Merah was Baron Van Imhoff house, he was one 
of VOC Governor General

Under VOC, Sunda Kelapa developed rapidly as an international transit port and Batavia became an important city port in Asia. The city supplied various trade commodities – tea, silk, coffee, tobbaco, spice, palm wine and ceramics, to Europe, Asian countries and other regions. Obsiously, the port became the driving force that supported the development of Batavia during VOC ruled. As the business increased, there were more people became rich in Batavia. More buidings and canals was built to make the city more beautiful and attracted many Europeans (French, British, Scandinavian) visited Batavia between 1732-1733.
Batavia was survive until 1942-1943 when the Japanese took over and restored to older name, Jayakarta.



This building might be owned by Tulus Redjo


There are several buildings left that can describe how beautiful and busy the city in its heydays. Some European style buildings are still used as offices or just left as an empty building and damaged by the time.


The old city area is easily access from anywhere around Jakarta, there is a TransJakarta shelter and Stasiun Kota nearby. From here we could take bajaj, rent a bike or even walk to go around. 
From Transjakarta Stasiun Kota shelter, I took a walk to the Kali Besar area. I passed by the Kali Besar bridge. It’s very smelly and the water colored dark green all the time. 

Kali Besar
Kali Besar (de groote rivier or big river) was the center for shipping, trade and industrial activities of the city. Local and foreign ships berthed on both sides of Kali Besar banks, where large buildings for warehouses and offices were built to support cargo handling.










I walk a little further to Kali Besar Barat street, where I found a big hotel, d’Riviera hotel. Not far from the hotel there’s a bridge named ‘Jembatan Kota Intan’ (Diamond City Bridge).  This used to be a mechanic bridge, when a boat passed by, the bridge opened. The bridge is now preserved to maintain it’s original construction.





As the trade from Asia to Europe increased, VOC built more warehouses to store more spices and plantation products in 1652-1759. During Japan occupation, these buildings were used as logistic for Japanese military.
In 1976 the building was handed over to DKI Jakarta administration and declared as historical monument.
In 1977, the building opened as Maritime Museum.


The buildings had many big windows for good air circulation,
so the spices could be stored in a long time



The museum has many collections of ships to describe Indonesian maritime history. Not only miniatures, there also traditional ships from across Indonesia.
Observing the maritime museum was such an interesting time. There’re many  ship miniatures made of woods which describe how great Indonesian ancestor as sailors.

Maritime Museum

Syahbandar Tower
Ships miniatures in Maritime Museum















VOC Galangan (dockyards) was constructed in 1628. Beside constructed small ships, the dockyard also served big ships for maintenance or repairing. 
The building is still well maintained and now used as a restaurant.

VOC dockyard


Syahbandar tower is just across the street from the dockyard. It's constructed in 1839 by Netherland Indies government, which was used as an observing tower. The 12 m tall building used to be the highest buiding in Batavia. From the 3rd floor, we can observe activities at Sunda Kelapa port. 








'Onthel' bikes for rent at Fatahillah Museum


Museum Fatahillah was occupied as City Hall, built in 1620 by General Governor JP Coen. The city hall was also used as Raad Van Justitie or justice council which handled civil and criminal cases in Batavia. The building was also used as jail. The prisoner accused guilty would be hung at the Staadhuis which was the plaza in front of city hall.
Now the city hall has become a recreational plaza which always crowded on the weekend. There are many activities to do, we can rent a bike to go around Jakarta old city, just sitting on Batavia Cafe or take photograph with human statue.
We can also enjoy Betawi traditional foods such as kerak telor (chicken or duck egg fried with sticky rice and grated coconut until it gets crust), soto mie (noodle, cabbage and other ingredients with curry seasoning), es selendang mayang (colorful rice porridge with ice) and many other foods street.

Various kinds of food street
Not far from Fatahillan Museum. we can find Bank Indonesia and Mandiri Museum. Bank Indonesia museum was De Javasche Building, built in 1828. This is an audio visual museum, with electronic displays and diorama which describe history of Indonesian monetary, especially Bank Indonesia roles in Indonesian economy.


Mandiri Museum constructed in 1929 was used as Nederlandsche Handel Maatschappij NV (NHM) office. The museum displays a collection of banking-related items, such as securities documents, numismatics (coin collections), general ledgers, cash counters and a safe deposits, office equipments.


Old office equipments

Ornament in Museum Mandiri was brought from Netherland

Jakarta Kota Station serves as a main station for several intercity train (Argo Train) lines across Java IslandThis station also serves three of the six commuter lines , which operate in the Jakarta metropolitan area and its surroundings.